CYBER LAW HOUSE : Jalan Nias No.14/616 Rt.004 Rw.003, Kelurahan 26 Ilir D-I, Kecamatan Ilir Barat I, Kota Palembang 30136, Sumatera Selatan, Indonesia; Telp : +6285369903020, +6282185998766 (Adha), +6282182826238 (Hairul), +6282185109191 (Usman); Website: http://www.ahu-lawfirm@blogspot.co.id; Email: ahu.lawfirm@gmail.com

Wednesday, 5 April 2017

Digital forensik layaknya detektif


Mungkin kita pernah menonton dan membaca serial Detektif Sherlock Holmes (Sir Arthur Conan Doyle), Detektif Hercule Poirot (Agatha Christie) maupun Detektif Conan (Gōshō Aoyama) dan Detektif Kindaichi (Tadashi Agi), kesemuanya adalah seorang detektif profesional yang bertugas menyelusuri kejahatan, baik terhadap bukti yang ada atau rekam jejak yang masih tertinggal, maupun tidak ada sama sekali bukti terhadap rekam jejak yang ada, mereka mengumpulkan, merangkai hingga menganalisis dengan baik dan sempurna tiap-tiap peristiwa kejahatan tersebut, pada akhirnya dapat menyimpulkan motif kejahatan dan siapa pula pelaku yang melakukannya.


Digital forensik bekerja atau bertindak sama seperti halnya seorang detektif, yakni mengumpulkan barang bukti untuk selanjutnya dipelajari dan dianalis secara menyeluruh (komprehensif), serta hasilnya nanti dapat menyimpulkan motif dan pelakunya. Sedangkan terhadap kejahatan yang tidak terdapat rekam jejaknya, maka hal ini dilakukan secara kontinyu (terus menerus) menyelusuri tiap-tiap perisitwa kejahatannya, karena di dalam dunia kriminalitas terkenal adanya teori "tidak ada kejahatan yang sempurna (not crime is perfect)", maksudnya meskipun sama sekali tidak terdapat adanya rekam jejak (bukti) kejahatan yang tertinggal, maka digital forensik dapat mengusahakan dan menyelusuri siapa pelakunya dalam upaya penyidikannya. 

Semua orang dapat bertindak sebagai digital forensik, namun alangkah baiknya memiliki sertifikasi yang bukan hanya di akui skala nasional tapi juga skala internasional, antara lain: EC-Council, Cisco, atau yang lainnya. Sertifikasi keahlian ini pun sangat lah berguna untuk kredibilitas jatidirinya dan kepercayaan masyarakat umum, misalnya; semua tenaga pendidik adalah guru, tapi belum tentu semua guru memiliki sertifikasi.
Dengan adanya sertifikasi yang dimilikinya, maka tiap-tiap orang pun mengakui dan mempercayai ilmu pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya.

Digital forensik yang telah memiliki sertifikasi keahlian, maka dapat dengan mudah menyelusuri rekam jejak kejahatan dan menemukan pelakunya, karena ada akses untuk saling berbagi informasi. Bahkan terasa lebih mudah dan sempurna, jika ikut pula bergabung di dalam organisasi digital forensik yang telah ada, misalnya AFDI, ICSF, ICLC, atau lain sebagainya, untuk berbagai informasi terhadap peristiwa yang di hadapi.

Maka untuk menjadi digital forensik tidak lah begitu mudah, sama juga seperti detektif atau profesi yang lainnya. Bukan hanya memiliki ilmu pengetahuan dan keahlian saja, tapi mesti juga memiliki sertifikasi keahlian dan ikut bergabung pula di dalam organisasi tersebut. Hal ini dapat di ilustrasikan; seseorang dapat mengakui dirinya sebagai seorang polisi atau tentara, tetapi bagaimana orang lain dapat mengakuinya kalau tidak pernah ikut sekolah (pendidikan) kepolisian atau kemiliteran, itu sama saja gadungan atau menipu orang lain.

Jika kita menonton atau membaca serial detektif, pada akhir episodenya kadangkala ada seseorang atau sekelompok orang (pihak ketiga) yang menentang terhadap keseluruhan rangkaian peristiwa kejahatan telah ditemukan oleh detektif. Begitu juga digital forensik terhadap hasil upaya yang telah di capai, namun digital forensik tidak sembarangan melakukan investigasi dan analisis yang dilakukannya, kesemuanya itu dilakukan sesuai standar internasional, maksudnya telah berlaku umum di tiap-tiap negara. 
Seseorang atau sekelompok orang (pihak ketiga) memiliki hak untuk melakukan pengujian terhadap hasil yang telah diperoleh oleh digital forensik, asalkan melalui metode apple to apple. Metode "apple to apple" merupakan penjelasan yang di sampaikan oleh Ahli Digital Forensik, Muhammad Nuh Al Azhar dalam Sidang Kopi Sianida. Beliau menjelaskan metode "apple to apple" dapat dilakukan jika memenuhi tiga syarat, yakni sumber daya (resource), perangkat lunak (software), dan standar prosedur (SOP) yang sama.

Dengan ilmu pengetahuan dan keahlian terhadap digital forensik, apalagi telah memiliki sertifikasi keahlian dan/atau bergabung juga di dalam organisasi digital forensik, merupakan suatu syarat yang telah dipenuhi yakni sumber daya (resource). Selanjutnya digital forensik dapat bertindak sebagai detektif yang baik dan sempurna, mensinergikan tools software maupun hardware yang telah sesuai standarisasi internasional. Kemudian digital forensik mensinergikan ilmu pengetahuan dan keahliannya dengan sesama yang lainnya di dalam organisasi digital forensik tersebut, secara bersama-sama mengkonstruksikan dan merumuskan permasalahan hingga menemukan solusi sebagai jawaban terhadap masalah yang ada.

Meskipun digital forensik ibarat seperti detektif, bukan hanya bertindak setelah adanya suatu kejahatan (represive), tapi dapat juga bekerja melakukan pencegahan dengan berbagai cara yang dilakukannya, melindungi dan mengamankan sistem keamanan yang telah ada bahkan hingga menyempurnakan sistem keamanan tersebut. Walaupun sifat kerjanya sama seperti detektif, akan tetapi ini lah yang membedakan detektif dengan digital forensik, digital forensik memiliki upaya-upaya pencegahan (preventive) terhadap berbagai serangan (cyber attacks) maupun kejahatan (cyber crime) yang dilakukan oleh orang lain. Upaya pencegahan ini lah yang alangkah baiknya dipergunakan oleh individu maupun badan hukum untuk melindungi sistem keamanan jaringan terhadap asset maupun data yang di milikinya. 
Dalam dunia digital forensik terdapat pula teori "kejahatan mengikuti perkembangan perabadan", maksudnya belum tentu sama kejahatan pada hari ini dengan esok harinya, karena kejahatan mayantara senantiasa berubah sesuai peradaban teknologi.
Belum tentu yang melakukan kejahatan cyber mayantara telah menamatkan pendidikan yang lebih tinggi, bahkan ada juga pelaku yang masih berada di sekolah menengah atau sama sekali tidak menamatkan sekolah dapat melakukan kejahatan cyber mayantara. Dengan demikian, pelaku kejahatan cyber mayantara ini tergolong cerdas, kreatif dan inovatif, dapat pula dilakukan secara perlahan-lahan (otodidak) maupun menerapkan ilmu yang diperoleh dalam perkuliahan atau di dalam pergaulannya.

Kita mesti waspada dan sesuai pepatah "sedia payung sebelum hujan", maksudnya kita mesti meningkatkan keahlian dan keterampilan ilmu digital forensik sebelum kejahatan cyber mayantara terjadi, baik sumber daya (resource) yang telah di miliki maupun dengan jasa profesi pihak ketiga yakni melalui jasa konsultan. Kejahatan cyber mayantara ini, meskipun tergolong banyak jenis-jenis kejahatannya, pada prinsipnya pelaku kejahatan cyber mayantara ini menyesuaikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dimilikinya.

Menghadapi permasalahan virtual reality (digital online/mayantara) tersebut, AHU & Partners mengkolaborasikan antara ilmu hukum (advokasi) dan ilmu komputer (network security system/digital forensics) dan secara bersama-sama dengan PT. Adeyandra Consulting Indonesia, memberikan dua jasa layanan profesi secara profesional (double track services) yang bertindak secara profesional sesuai komitmen (commitment) dan kepercayaan (trust) yang telah diberikan, dan untuk selanjutnya membantu dan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan senantiasa mengedepankan ilmu pengetahuan (science), wawasan (insight), pengalaman (experience), dan keahlian (skill) yang kami miliki.

Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.


Salam,
AHU & Partners,
PT. Adeyandra Consulting Indonesia.



No comments:

Post a Comment