AHU & Partners akan menghadirkan tayangan "Tokoh Inspirasi" pada tiap-tiap bulannya, dengan mengungkapkan berbagai prestasi dan keahlian yang dimilikinya, pada akhirnya menjadi suatu hasrat untuk diteladani dalam kehidupan.
Untuk menampilkan berbagai prestasi dan keahlian tersebut, AHU & Partners menyelusuri tiap-tiap situs sebagai referensi untuk ditayangkan pada "Tokoh Inspirasi" ini.
Tokoh Inspirasi Edisi Maret 2017, yakni Bapak, AKBP. Muhammad Nuh Al Azhar, S.T., M.Sc., CHFI., CEI., ECIH.
Terinspirasi
dengan AKBP. Muhammad Nuh Al Azhar, M.Sc., CHFI., CEI., ECIH., bukan hanya dilandasi
dengan hubungan emosional saja, akan tetapi kecintaan beliau menekuni ilmu pengetahuan ilmu
digital forensik hingga cinta kepada bangsa dan negara Republik Indonesia menjadi terinspirasi.
Sebagaimana
yang dikemukakan beliau, pernah ditawarkan dengan penghasilan hingga mencapai
1-2 milyar per bulannya, meskipun sempat tergoda namun beliau memilih untuk
mengabdikan diri kepada bangsa dan negara, “Jumlah
pekerja digital forensik masih sangat sedikit. Mungkin dianggap penghasilannya
tidak menjanjikan. Padahal kenyataannya tidak begitu. Di London, penghasilan
seorang digital forensik bisa mencapai 1-2 miliar tiap bulannya. Saya pun
sempat tergoda untuk pindah ke London, tapi saya lebih memilih untuk mengabdi
di Indonesia,” kata AKBP Kasubbid Komputer Forensik Puslabfor Mabes Polri AKBP M
Nuh Al-Azhar di Jakarta, Kamis (18/2).
Hal yang
sama diungkapkan oleh ahli digital forensik, Ruby Alamsyah. Menurutnya, banyak
praktisi TI belum tertarik dan tergiur terjun ke dunia digital forensik.
"Padahal sangat menjanjikan, itu kenapa saya menjalanin," ujarnya. Ruby
mengatakan dirinya pernah melakukan riset soal profesi di Indonesia. Menurutnya
profesi yang mendapat bayaran mahal di Indonesia adalah mereka yang
berkecimpung dalam bidang hukum. "Kenapa di bidang hukum dibayar
mahal karena berhubungan dengan perkara dan kemerdekaan seseorang,"
ujarnya.
Pria kelahiran Palembang 8 Juli 1974 merupakan lulusan teknik mesin
Universitas Sriwijaya Palembang angkatan masuk 1991. Kendati studi utamanya
adalah mesin, Nuh memiliki kegemaran programing dan hacking yang membuatnya
banyak belajar secara otodidak dengan buku sebagai jendela ilmu."Saya
dapat mata kuliah programing tapi kurang begitu happy karena kaku. Saya kemudian belajar bahasa programing basic secara otodidak, tapi tidak happy juga
karena tidak mendapatkan yang saya mau," kata Nuh di ruang kerjanya.
"Kemudian saya pindah lagi, belajar bahasa program Turbo Pascal secara
otodidak."
Kesukaan pada programing
akhirnya mendorong untuk mendalami digital forensik, alasannya bukan hanya
untuk hobi, melainkan perkembangan dunia teknologi yang semakin pesat sehingga
kejahatan pun kerap melibatkan barang bukti berupa alat digital. Tetapi
untuk mendalami digital forensik terkendala dengan tidak adanya pengajar ilmu
itu di Indonesia. "Salah satu kesulitan terbesar saya waktu itu adalah
mencari guru," katanya. Akhirnya berburu buku-buku digital forensik untuk
mendapatkan pengetahuan. "Saya sulit memahaminya kala itu, maklum
karena tak ada guru. Saya baca beberapa lembar, saya ulangi lagi, supaya paham
esensinya," katanya. "Saya hunting buku dari dalam hingga ke luar
negeri. Tidak punya rekomendasi, apa yang ketemu itulah yang saya baca, yang
penting ada kata kunci 'digital forensik, komputer forensik, IT
forensik'," katanya kemudian tersenyum.
Situs ondigitalforensics.weebly.com menyebutkan Nuh merupakan anggota
Polri yang mendapat penghargaan New York State Police, kemudian lulusan
terbaik bidang akademik Sekolah Lanjutan Perwira (Selapa) Polri 2006, dan
mendapat award dari EC-Council (Lembaga Sertifikasi
Internasional kompetensi Bidang ilmu Pengetahuan dan Teknologi Komputer Berupa
Computer Hacking Forensic Invstigator-CHFI) 2007 di India. Selanjutnya beliau
pernah menerima beasiswa Chevening tahun 2008/2009 dari Foreign and
Commonwealth Office (FCO) dari pemerintahan Inggris dan Lulusan terbaik MSC
bidang forensic Informatics dari University Of Strathclyde, Inggris tahun 2009.
Menurut
Nuh, digital forensik merupakan aplikasi bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
komputer untuk kepentingan pembuktian hukum. Dalam hal ini membuktikan
kejahatan berteknologi tinggi hingga bisa mendapatkan bukti -bukti digital yang
dapat digunakan untuk menjerat pelaku kejahatan tersebut. Selanjutnya beliau mengatakan terdapat empat tindakan anti-forensik digital selepas peluncuran buku
"Digital Forensic: Panduan Praktis Investigasi Komputer" di Kampus
Universitas Indonesia Depok, yakni "Pertama adalah kriptografi dengan
melakukan enkripsi suatu file; Kedua steganografi yaitu penyembunyian informasi
yang tersimpan di media penyimpanan digital; Ketiga adalah kegiatan wipping atau
penghapusan data secara sempurna dan terakhir, adalah peretasan (hacking)," kata alumnus Forensic Informatics dari
University of Strathclyde Inggris.
Situs Antara 18 Juni 2012, pernah memberitakan Nuh. Dalam peluncurkan buku Digital Forensic: Panduan Praktis Investigasi Komputer, Nuh mengatakan Indonesia masih sangat membutuhkan ahli-ahli forensik digital untuk mengungkap segala tindak kejahatan di dunia. Dengan demikian, kita mesti menjadi ahli-ahli digital forensik yang profesional, berkualitas dan bermartabat, apalagi tawaran penghasilan yang diperoleh pun lumayan tinggi tiap-tiap bulannya, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Muhammad Nuh Al Azhar dan Ruby Alamsyah. Tidak ada gunanya dan tidak ada manfaatnya hingga menciderai hak privasi personal maupun badan hukum dengan berbagai serangan dan tindakan kejahatan terhadap virtual reality (mayantara), apalagi tidak ada kejahatan yang sempurna dan tiap-tiap kejahatan tersebut pasti akan meninggalkan jejak untuk dapat diselusuri.
Sederet prestasi
tersebut dan tidak pula tergoda dengan tawaran penghasilan yang tinggi, justru
memilih untuk mengabdikan diri kepada bangsa dan negara dengan ilmu pengetahuan
digital forensik yang beliau miliki di Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hal
ini lah yang menjadi landasan berpijak bagi AHU & Partners terinspirasi kepada beliau, secara bersama-sama
mengabdikan diri kepada bangsa dan negara dengan senantiasa menjaga, memelihara
dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari berbagai serangan maupun
tindakan kejahatan tindak pidana terhadap virtual
reality (mayantara) disamping memberikan layanan hukum (legal services), yakni dengan layanan sistem keamanan jaringan (network security system services / digital
forensics), akan tetapi bersifat pencegahan (preventif) dan tidak pula mengintervensi proses/hasil penyidikan
maupun pada sidang pengadilan.
Referensi:
No comments:
Post a Comment